Emik dan Etik adalah dua macam sudut pandang dalam etnografi yang cukup mengundang perdebatan. Emik (native point of view) misalnya, cuba menjelaskan suatu fenomena dalam masyarakat dengan sudut pandang masyarakat itu sendiri. Sebaliknya, etik merupakan penggunaan sudut pandang orang luar yang berjarak (dalam hal ini peneliti) untuk menjelaskan suatu fenomena dalam masyarakat.
Dalam etnografi, peneliti memang diharuskan untuk terlibat dalam kehidupan masyarakat yang menjadi objeknya untuk masa yang cukup lama. Di sana dia akan mengamati apa yang terjadi, mendengar apa yang dikatakan orang-orang, mengajukan pertanyaan, mengumpulkan data dan menjelaskan masalah yang menjadi perhatiannya.
Dari definisi di atas, wajar bila terjadi kesulitan untuk menentukan point of view harus digunakan. Kerana memang keduanya tak dapat dipisahkan antara satu sama lainnya. Akan tetapi merujuk pada Boas, bahwa “Sekiranya kita benar-benar bertujuan untuk memahami pemikiran manusia, maka seluruh analisa pengalaman mestilah diasaskan pada konsep mereka dan bukannya konsep kita.” James Lull juga menegaskan bahwa salah satu tanggungjawab dari peneliti etnografi adalah melakukan semua risetnya dalam setting yang (natural), dimana tempat perilaku itu berlangsung. Dari berbagai pertimbangan itulah, sebagian besar antropologi sangat menyarankan peneliti untuk menggunakan pendekatan ‘emik’ dan ‘etik’. maksudnya peneliti tetaplah include dalam kehidupan masyarakat objeknya, namun dia harus menganalisis sebanyak mungkin pandangan etiknya terhadap masyarakat tersebut.
Pendekatan emik dalam hal ini memang menawarkan sesuatu yang lebih obyektif. Karena tingkah laku kebudayaan memang sebaiknya dikaji dan dikategorikan menurut pandangan orang yang dikaji itu sendiri, berupa definisi yang diberikan oleh masyarakat yang mengalami peristiwa itu sendiri. Bahwa pengkonsepan seperti itu perlu dilakukan dan ditemukan dengan cara menganalisis proses kognitif masyarakat yang dikaji dan bukan dipaksakan secara etnosentrik, menurut pandangan peneliti.
Contoh kasus:
Pada sebuah fenomena masyarakat seperti pengemis. Bila perilaku pengemis disebut sebagai sebuah fakta sosial. Maka berlaku sebutan: pengemis adalah sampah masyarakat, manusia tertindas, manusia yang perlu dikasihani, manusia kalah,, dsb. Anggapan ini bukan sebuah kesalahan berpikir, melainkan sebuah sudut pandang etik orang di luar pengemis untuk menunjukkan fakta yang semestinya berlaku seperti itu, bukan pandangan emik, bagaimana pengemis melihat dirinya sendiri.
Dalam pandangan emik yang bersifat interpretif atau fenomenologis, pengemis adalah subjek. Mereka adalah aktor kehidupan yang memiliki hasrat dan kehidupan sendiri yang unik. Pandangan subjektif seperti ini diperlukan untuk mengimbangi pandangan obyektif yang seringkali justru memojokkan mereka, melihat mereka sebagai korban kehidupan, atau ketidakadilan sosial, bukan sebagai entitas masyarakat yang memiliki pemikiran dan pengalaman hidup yang mereka rasakan dan alami sendiri.
No comments:
Post a Comment