Kontekstualisasi ditujukan untuk membawa Injil sebagai khabar baik yang sesungguhnya bagi manusia dalam situasi-situasi kongkrit yang berubah secara cepat. Ada tiga aspek yang harus mendapat perhatian yaitu Krisis iman yang meluas dan pencarian makna kehidupan; masalah-masalah yang mendesak dari perkembangan manusia dan keadilan social; perbedaan diantara peradaban teknologi yang universal dan situasi-situasi budaya dan agama setempat.
Kontekstualisasi dalam Alkitab tertulis dalam Kisah Rasul Pasal 2:4. ITB Acts 2:4 Maka penuhlah mereka dengan Roh Kudus, lalu mereka mulai berkata-kata dalam bahasa-bahasa lain, seperti yang diberikan oleh Roh itu kepada mereka untuk mengatakannya.
Kontekstualisasi digunakan dalam hubungan dengan budaya-budaya yang dengan cepat mengalami perubahan social. Istilah ini menyiratkan usaha untuk memperhitungkan proses sekularisasi, teknologi, dan perjuangan-perjuangan demi keadilan manusia yang dialami oleh bangsa-bangsa di dunia ketiga.
Kelopok pemikir Injili melihat tugas kontekstualisasi terbatas pada iman dan komunikasi relevan tanpa mengubah berita ke dalam bahasa dan bentuk kebudayaan. Sebab tugas kontekstualisasi ialah menterjemahkan Injil dalam hubungan dengan situasi histories yang kongkrit.
Sebab itu methode gramatika-histories kuno dan dihormati yaitu mengenai exegesis teks untuk diterima sebagai pokok dalam kontektualisasi; memberi penjelasan dan pengertian apa yang dimaksud para penulis, namun memiliki konteks. Kontekstualisasi yang asli berlangsung ketika terjadi pertemuan antara teks dan konteks. Misalnya konteks dapat memusatkan isu pada kekerasan, sedangkan teks menaikkan isu mengenai dosa dan kuasa setan. Karena teks memiliki wewenang atas konteks dan mengubah, maka pergerakan dialog akan selalu dari teks ke konteks.
Pertemuan berlangsung di dalam ketergantungan kepada Roh Kudus. Roh Kudus merupakan kunci yang menjelaskan hubungan teks dan konteks. Perbentangan ini didasarkan atas keyakinan bahwa Roh Kudus memberi kejelasan dan jaminan dari teks dalam hubungannya dengan tiap-tiap situasi manusia.
Kaum Injili mengakui bahwa kontekstualisasi yang sah hanya menerima dengan terus terang kesetiaan sikap sebagai murid Kristus yaitu loyal dan setia kepada Yesus Kristus sebagai juruselamat dan Tuhan atas segala yang hidup, segala pribadi, dan semua masyarakat dan kesetiaan kepada Injil-Nya. Kontekstualisasi yang benar menuntut kesanggupan bagi gereja sebagai umat Allah, yang memuja Tuhan, juga dipanggil untuk menaati tugas pelayanan, terutama bagi kaum miskin dan untuk memproklamasikan kepada semua orang keselamatan dalam Kristus.
Penafsiran terhadap teks merupakan tugas gereja. Semua orang Kristen dan Roh Kudus memperjelas teks. Gereja adalah lapisan dimana kontekstualisasi berlangsung. Gereja adalah tubuh Kristus dengan keaneka-ragam karunia dari Roh Kudus memastikan proses yang dinamis ini berlangsung.
Kontekstualisasi yang benar menentang segala bahaya sinkritisme. Tetapi bukan kelesuan atau ketakutan, melainkan kesediaan untuk menanggung resiko dan kesanggupan untuk mencapai tujuan misiological memungkinkan komunikator mengalahkan ketakutan ini. Roh Kudus sebagai komunikator Ilahi adalah pelopor dari pemenuhan tugas ini.
Dalam hubungan dialog antara teks Alkitab dan seluruh bentuk konteks manusia, gereja terikat terhadap pembinasaan mereka. Meskipun semua kebudayaan dicemari dosa masih mencerminkan kebenaran dan kemolekan dari wahyu umum Tuhan. Tetapi yang harmonis dengan hukum Tuhan tetap harus dibersihkan, diubah, dan ditaruh dibawah kuasa Kristus.
Kontekstualisasi memuncak pada Khabar Baik yang menerobos tiap-tiap situasi yaitu penebusan dari dosa, kesalahan dan pembebasan dari kuasa setan, pembebasan dari keputusasaan, ketidakadilan dan perwujudannya merupakan suatu tugas sentral gereja di dalam misinya dalam dunia (bnd. NDT, 1991: 165-167).
No comments:
Post a Comment